Keselamatan Pekerja Bangunan yang Kerap Diabaikan
Pemandangan pada beberapa foto dalam tulisan ini mungkin saja sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pekerja-pekerja bangunan bekerja pada resiko tinggi tanpa alat bantu keselamatan sama sekali. Jika terjadi kecelakaan kerja siapa yang dirugikan? Sudah tentu pekerja itu sendiri yang pastinya tanpa jaminan asuransi apapun.
Foto diambil pada sebuah proyek di sebuah sekolah yang sedang menambah ruangs secara vertikal. Jika diukur mungkin jarak dari atap ke tanah ada sekitar 30 meter lebih. Bagi saya yang memang takut ketinggian jelas angkat tangan jika harus berada di tepian atap. Tetapi tidak bagi seorang pekerja yang bertugas memasang atap metal. Tanpa alas kaki dan alat bantu keselamatan dengan cepat ia menyekrup baut-baut.
Dengan kondisi cuaca panas dan angin bukan tidak mungkin resiko kehilangan konsentrasi dan kehilangan keseimbangan bisa terjadi. Terjatuh dari ketinggian seperti itu bisa berakibat fatal. Minimal patah tulang tentunya.
Siapa yang peduli, mandor atau sang kontraktor? Bahkan terkadang si pekerja sendiri memang enggan menggunakan alat bantu keselamatan dengan alasan ribet dll. Terkadang orang tidak bisa memisahkan antara resiko pekerjaan dengan bekerja secara ‘profesional’ dalam pekerjaan beresiko tinggi. Jika membandingkan tingkat keselamatan kerja di sebuah pengeboran minyak lepas pantai misalnya, dengan proyek bangunan rasanya sama saja. Hanya kenapa pekerjaan bangunan tidak mengindahkan keselamatan kerja?
Dahulu ketika proyek-proyek pencakar langit di kota New York dimulai keselamatan kerja pun masih diabaikan. Para kontraktor harus memperkerjakan imigran dan warga amerika keturunan Indian yang memang tidak takut akan ketinggian untuk memasang besi-besi. Mereka mempetaruhkan nyawa melawan angin dan gravitasi . Tetapi semua itu bukan berarti tidak pernah menelan korban sama sekali.
Itu terjadi 100 tahun yang lalu, sekarang tahun 2014 kita masih saja seakan tidak peduli dengan keselamatan kerja, khususnya proyek bangunan. Apakah memang nyawa sedemikian murah atau memang keberanian mengalahkan resiko demi sesuap nasi? Entahlah.
Sumber artikel & foto: ekonomi.kompasiana.com | 16 May 2014