Pemerintah Diminta Evaluasi Margin Gas

Bagikan:

Migas OfficerJAKARTA –  Pemerintah diminta mengevaluasi margin dan biaya distribusi trader gas di tingkat hilir yang dinilai tinggi, sehingga memberatkan industri dan semakin sulit bersaing.

Pengamat kebijakan energi IRESS Marwan Batubara menyatakan, keberadaan ‘trader kertas’, membuat margin distribusi di hilir menjadi jauh lebih besar dibandingkan dengan  margin di hulu, belum lagi ditambah biaya toll fee yang memang cukup besar.

“Ini yang harus dibenahi. Bahkan, kalau perlu dihapuskan saja sistem trader kertas itu karena sangat memberatkan bagi konsumen,” kata Marwan Batubara melalui keterangan tertulis.

Menurutnya, seharusnya pemerintah yang mengatur dan menetapkan harga tersebut, bukan membiarkan pengelola gas yang mengatur, apalagi jika yang berperan adalah ‘trader kertas’.

Terkait hal itu, Marwan menyatakan sistem open akses bisa menjadi pilihan dalam distribusi gas dalam negeri, terutama jika keberadaan para trader kertas bisa diatasi.

Dalam hal ini, lanjutnya, pemilik pipa bisa menyewakan pipa-pipa kepada BUMN lain untuk kemudian saling bersinergi.

“Pemerintah bisa mengatur sehingga sesama BUMN saling mendukung,” katanya.

Senada dengan hal itu Koordinator Gas Industri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Achmad Widjaya menyatakan seharusnya pemerintah mengevaluasi harga gas yang saat ini yang terlampau mahal.

“Kalau harga di hulu saja sudah bisa diturunkan, mengapa di hilir tidak? Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi dan kajian agar harga bisa turun. Margin pemilik pipa juga harus dievaluasi,” katanya.

Menurut dia, harga gas untuk industri yang mencapai 9-10 dolar AS per million million british thermal unit (MMBTU) membuat industri dalam negeri tidak bisa bersaing dengan pesaingnya.

Untuk itu, tambahnya, jangankan membandingkan dengan harga di luar negeri yang hanya 3,7 dolar AS, membandingkan dengan kondisi 15 tahun lalu saja, sudah jelas bahwa harga gas seharusnya bisa jauh lebih murah.

“Bagi kami, industri pengguna gas, kondisi ini ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Di saat dolar terus naik, kami masih harus membayar mahal gas,” katanya.

Di sisi lain, Widjaya menyesalkan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk. yang mengambil margin rata-rata empat dolar AS per MMBTU atau di atas 40 persen.

Margin tersebut, lanjutnya, jauh lebih besar daripada aturan toll fee yang ditetapkan oleh BPH Migas.

“PGN harusnya mengambil margin yang wajar, yakni gross profit 30 persen. Mengapa mereka mereka mematok begitu tinggi? Mengapa mereka tidak menjalankan aturan yang sudah ada?” kata Widjaya.

Widjaya berharap, seharusnya harga gas bisa diturunkan menjadi sekitar enam dolar AS per MMBTU, termasuk toll fee karena dengan harga sebesar itu, meski masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga, namun industri masih bisa bersaing dan menjalankan roda bisnisnya.

Wakil Sekjen Industri Kimia Indonesia (FIKI) Fajar Budiono menyatakan, di tengah harga minyak dunia yang turun dan kurs rupiah yang terus melemah, seharusnya pemerintah mengevaluasi harga pokok dan harga distribusi sehingga tidak memberatkan.

Menurutnya, pemerintah harus memperhatikan utility industri kimia, apalagi industri kaca dan keramik, yang hampir seluruh bahan baku atau raw materials merupakan impor dan dibeli dengan dolar AS.

“Jika utility menurun, maka PPH dan PPN juga menurun, akan terjadi PHK secara besar-besaran. Pemerintah harus memperhatikan hal tersebut,” kata Fajar.

Dia mengungkapkan saat ini sudah banyak industri kimia yang beralih dari gas ke solar, karena dianggap lebih murah.

Untuk harga gas yang besarnya sekitar 10,5 dolar AS, tambahnya, adalah setara dengan solar Rp6.000 per liter, padahal, saat ini terdapat solar MFU yang harganya jauh lebih murah, yakni Rp4.000 per liter.

 

 

Sumber: http://industri.bisnis.com/

Rate this post

Tag:

Bagikan:

Request Presentation

Agenda Terdekat Productivity Quality




Layanan Kalibrasi

Download Jadwal Training 2025

Proxsis TV

[yikes-mailchimp form=”1″]