Memahami Kilang Minyak Bumi

Bagikan:

564cc300cc57b-1447871232-c0cfc2aaa8de6f16c6ce899514d86b3cSetiap kali isu subsidi bahan bakar minyak (BBM) menghangat, maka sudah dapat dipastikan isu mengenai kilang minyak bumi juga mencuat. Ketika pemerintah mau menaikkan harga BBM bersubsidi, kebanyakan orang menyalahkan pemerintah yang tidak membangun kilang minyak bumi baru sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri. Sekarang kita coba bahas sedikit mengenai kilang minyak bumi, salah satu mahakarya teknik kimia yang menjadi salah satu tumpuan kehidupan di bumi.

Minyak bumi merupakan campuran kompleks hidrokarbon dari C1 – C70+. Jika ditaksir, komponen hidrokarbon dalam minyak bumi mencapai >50.000 dan belum termasuk isomer dari masing-masing komponen tersebut. Selain itu, miyak bumi juga mengandung pengotor-pengotor seperti garam, logam nikel dan vanadium serta senyawa lain dalam bentuk sulfur, nitrogen serta oksigen. Secara garis besar, komponen hidrokarbon di dalam minyak bumi di bagi menjadi :

  • parafin/iso-parafin : rantai karbon jenuh (tanpa ada rangkap)
  • olefin : rantai karbon tidak jenuh (ada rangkap 2 ataupun 3)
  • naftena : rantai karbon jenuh  yang membentuk rantai tertutup (melingkar) atau sikloalkana
  • aromatik : rantai karbon tidak jenuh yang membentuk rantai tertutup. Contoh : benzena

Di dunia perdagangan minyak bumi, minyak bumi diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu berdasarkan densitas (light dan heavy) dan kandungan sulfur (sweet dan sour). Densitas diukur dari nilai API (American Petroleum Index) dengan semakin besar API menandakan bahwa fraksi hidrokarbon ringan di dalam minyak bumi semakin besar atau dengan kata lain minyak merupakan jenis light crude. Berlaku pula sebaliknya. Sedangkan, kandungan sulfur di bawah 0,5 %-berat diklasifikasikan sebagai sweet dan jika di atas 0,5 %-berat diklasifikasikan sebagai sour crude. Umumnya minyak bumi jenis heavy memiliki kecenderungan untuk juga besifat sour.  Berikut ini  distribusi persebaran minyak-minyak dari lapangan minyak di dunia berdasarkan klasifikasi di atas:

1

 

Persebaran Minyak

Selain itu,  setiap jenis minyak bumi memiliki karakteristik tersendiri. Beda sumber minyak maka akan menghasilkan karakter minyak yang berbeda. Karakter-karakter ini dirangkum dan dikenal sebagai crude assay yang merupakan hasil analisis laboratorium. Salah satu data yang paling penting di dalam crude assay adalah kurva true boiling point (TBP) melalui uji ASTM distilasi. Kurva TBP merupakan indikasi awal dari jumlah fraksi produk yang bisa diperoleh dari suatu minyak bumi. Sederhananya, berapa banyak fraksi LPG, bensin, diesel, dan residu yang terkandung di dalam minyak mentah jika hanya dilakukan proses distilasi.

Sebagai contoh, Indonesia punya 2 jenis minyak yang produksinya sejauh ini paling besar dan menyumbang lebih dari setengah produksi minyak Indonesia, yaitu Duri dan Minas. Keduanya konsesi milik Chevron. Berdasarkan situs Chevron, produksi Duri sekitar 250 ribu barrel per hari dan Minas sekitar 420 ribu barrel per hari. Silahkan hitung berapa persen dari sekitar 850 ribu barrel total produksi Indonesia. Keduanya berasal dari tanah yang sama yaitu Sumatera tetapi memiliki karakteristik yang berbeda dimana Duri dikenal sebagai sumatran heavy crude dan Minas dikenal sebagai sumatran light crude (SLC).

 

2Karakteristik minyak Duri

3Karakteristik minyak Minas

Apa sih dampak dari perbedaan jenis minyak mentah yang diolah? Ini menentukan harga minyak dan konfigurasi proses dari kilang minyak nantinya. Harga? Indonesia sendiri punya acuan harga minyak mentahnya sendiri yaitu Indonesian Crude Prices (ICP).

Kembali ke dua contoh yaitu Minas (SLC) dan Duri. Harga keduanya berbeda. Selisihnya berkisar antara 2-10 dollar per barrel dimana lebih mahal minyak jenis Minas (SLC). Ini baru dari segi densitas yaitu light atau heavy. Belum dari sisi kandungan sulfur. Jelas, semakin sour suatu minyak mentah maka akan semakin murah harganya. Apalagi heavy sour. Jadi terbayang kenapa ada alasan Indonesia mengekspor minyak mentahnya untuk kembali mengimpornya dalam bentuk minyak mentah lagi? Karena ada selisih harga salah satunya. Jawaban yang rasional.

Lalu, apa dampak dari perbedaan jenis minyak mentah terhadap konfigurasi proses dari kilang minyak? Pertama, jauhkan pikiran bahwa semua jenis minyak mentah bisa diolahbim salabim abrakadabra menjadi produk di semua kilang di Indonesia bahkan di dunia. Tidak semudah itu. Kilang punya batasan jenis minyak mentah yang bisa diolah. Ini bergantung pada teknologi proses yang digunakan di dalam kilang. Semakin kompleks teknologi proses yang digunakan, semakin hebat suatu kilang. Bisa mengolah berbagai jenis minyak mentah, bisa menghasilkan lebih banyak produk bernilai tinggi. Kompleksitas dari sebuah kilang ditunjukkan melalui angka Nelson Complexity Index (NCI). Semakin besar nilai NCI, semakin hebat sebuah kilang. Hebatnya seperti apa? Silahkan googling.

Lalu, bagaimana dengan kilang Indonesia? Berapa indeks NCI-nya? Eh sebelum kita bahas NCI-nya, kamu tahu tidak kilang-kilang minyak di Indonesia? Jangan-jangan kamu sendiri tidak tahu walaupun sering membahas kilang-kilangan hehe. Yuk kita coba telusuri. Indonesia melalui Pertamina memiliki 7 kilang (UP/unit pengolahan) dengan 6 kilang yang masih beroperasi yaitu:

  • UP I Pangkalan Brandan (sudah tidak beroperasi, kilang pertama di Indonesia)
  • UP II Dumai-Sungai Pakning, Riau. Kapasitas : 170 ribu barrel per hari. NCI : 7,5
  • UP III Plaju, Sumatera Selatan. Kapasitas : 118 ribu barrel per hari. NCI :  3,1
  • UP IV Cilacap, Jawa Tengah. Kapasitas : 348 ribu barrel per hari. NCI : 4
  • UP V Balikpapan, Kalimantan Timur. Kapasitas : 260 ribu barrel per hari. NCI : 3,3
  • UP VI Balongan, Jawa Barat. Kapasitas : 125 ribu barrel per hari. NCI : 11,9
  • UP VII Kasim, Papua. Kapasitas : 10 ribu barrel per hari. NCI : 2,4.

Itu dia kilang-kilang kita, memiliki kapasitas total terpasang untuk mengolah minyak mentah sebesar 1,031 juta barrel per hari dengan NCI rata-rata sebesar 5,4. Indeks  NCI terbesar dipegang oleh kilang minyak terbaru kita (20 tahun yang lalu) yaitu kilang Balongan sebesar 11,9. Sudah sedikit terbayanglah ya betapa tertinggalnya kilang-kilang kita? Sudah terbayang seberapa kurang efisiensinya kilang kita?

Sekarang kita bahas tentang secara desain, kilang-kilang di Indonesia bisa mengolah minyak jenis apa saja.

4*CDU = Crude Distillation Unit (unit pengolahan awal dari minyak mentah)

Silahkan di telusuri kategori apa saja minyak mentah di atas. Tetapi secara kasat mata, bisa disimpulkan bahwa mayoritas kilang di Indonesia mengolah minyak jenis light crudesecara desain. Minyak mentah yang harganya cukup mahal. Hanya kilang Balongan yang secara desain mampu mengolah minyak jenis heavy (Duri). Tentu ada perbedaan antara pengolahan minyak jenis light dengan heavy crude. Minyak jenis light akan menghasilkan fraksi ringan yang lebih banyak atau dengan kata lain produksi LPG, bensin,minyak diesel, dan produk petrokimia lebih banyak dibandingkan dengan residu (karbon rantai panjang). Proses pengolahan yang digunakan juga tidak terlalu kompleks dan energi yang digunakan tidak terlalu besar. Sedangkan minyak jenis heavy akan menghasilkan residu yang lebih banyak jika diolah. Oleh karena itu, perlu proses pengolahan tambahan yang lebih kompleks untuk mengolah residu hingga menjadi produk yang diinginkan. Energi yang digunakan juga lebih besar. Akibatnya biaya pengolahan menjadi tinggi. Kondisi ini akan lebih dipersulit jika ternyata minyak yang digunakan berjenis sour. Tentu ada perlakuan lain yang harus dilakukan untuk mengolah minyak jenis sour. Beberapa kilang di Indonesia hanya bisa mengolah sebagian residu yang diperoleh dari pengolahan minyak bumi. Jadi residu-residu tersebut biasanya dibawa ke kilang Balongan agar bisa diolah. Berarti, sudah mulai terbayang betapa mahalnya biaya bahan baku untuk kilang di Indonesia karena harus disuapi dengan “light crude”? Sudah terbayang betapa tertinggalnya kilang-kilang Indonesia dari segi kemampuan mengolah jenis crude? Jadi jangan kaget kalau ternyata ada pernyataan bahwa biaya produksi bensin di Indonesia lebih mahal dibanding dengan mengimpor bensin jadi dari negara lain. Itu mungkin bisa aja terjadi karena ongkos pengilangan yang lebih mahal di Indonesia.

Jadi terbayang betapa biaya operasi kilang sangat bergantung terhadap harga minyak mentah? Terbayang betapa kalang kabutnya kilang minyak ketika harga minyak mentah naik akibat kondisi “politik” dari berbagai negara pengekspor dan “pemain besar”? Sebagai informasi tambahan, beberapa kilang minyak di Indonesia sudah tidak mengolah minyak mentah sesuai dengan desain. Utamanya dilakukan untuk menekan biaya operasi akibat harga bahan baku yang mahal. Akibatnya? Kilang tidak bisa beroperasi optimal sesuai desain.  Selain harga, alasan pemilihan jenis minyak mentah juga didasarkan kepada crude assay minyak mentah. Ini dilakukan untuk tetap bisa menghasilkan produk-produk olahan minyak yang diinginkan. Selain itu, karakter dari beberapa minyak mentah sudah mulai berubah ke arah yang lebih heavy sehingga keterbatasan kilang menjadi kendala.

Sekarang kita bahas apa saja proses-proses yang terjadi di dalam kilang minyak bumi. Secara garis besar, proses pengolahan minyak bumi di dalam kilang sebagai berikut :

  • Distilasi (pemisahan hidrokarbon berdasarkan fraksi-fraksinya)
  • Hydrotreating(menghilangkan senyawa pengotor seperti senyawa sulfur dan nitrogen)
  • Perengkahan (memotong rantai karbon panjang menjadi rantai pendek)
  • Polimerisasi/alkilasi (fraksi hidrokarbon ringan dibentuk menjadi fraksi yang lebih berat)
  • Reformasi (penyusunan ulang suatu rantai karbon agar mendapatkan produk yang diinginkan)
  • Peramuan (pencampuran produk kilang hingga diperoleh spesifikasi produk yang diinginkan)

Desain dan detail dari  proses-proses di atas tidak bisa dibuat dengan mudah. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan juga sudah cukup mumpuni. Oleh karena itu, umumnya kilang minyak membeli lisensi teknologi kepada lisensor-lisensor teknologi pengilangan minyak. Beberapa lisensor yang cukup terkenal adalah Universal Oil Product(UOP), Kellog Brown and Root (KBR), ConocoPhillipsChevron,  ABB Lummus, dll. Tentunya setelah membeli lisensi teknologi, kilang perlu membayar royalti kepada lisensor secara berkala sesuai dengan perjanjian. Selain itu, kilang minyak juga terpaksa membeli bahan-bahan penunjang seperti katalis kepada lisensor teknologi tersebut jika dibutuhkan. Ini disebabkan karena lisensor yang mengerti bagaimana proses-proses tersebut berjalan. Monopoli kecil dengan kata lain. Kemudian, konstruksi alat dalam operasi pabrik juga tidak sembarangan karena membutuhkan detail yang mumpuni yang biasanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan konstruksi alat dari luar negeri. Kesimpulan? Jelas butuh investasi yang besar.

Bergerak ke produk, produk kilang minyak yang paling diminat tentunya berjenis light-middle distillates. Apa saja yang termasuk di dalam kategori ini?

5

Selain itu, kilang juga menghasilkan produk-produk olahan lain  seperti bahan baku petrokimia (ethylene, propylenebenzene, toluene, xylene), pelumas, hingga aspal. Kilang kompleks dengan efisiensi tinggi mampu menghasilkan lebih banyak produk terutama light middle distillates dan bahan baku petrokimia. Produk-produk ini merupakan produk yang paling menguntungkan dari kilang. Mengacu pada Canadian Fuels Association, kilang kompleks terbaru saat ini mampu menghasilkan sekitar 60 % bensin, 35 % middle distillates, dan 5 % residu berat. Sedangkan, kilang jenis topping (proses utamanya distilasi) hanya mampu menghasilkan 20 % bensin, 30 % middle distillates, dan 50 % residu berat. Kedua kilang menggunakan minyak mentah yang sama, Arabian light crude.

Beberapa pemaparan di atas sedikit menyimpulkan bahwa kilang minyak bukan industri yang sederhana. Industri yang kompleks. Industri ini merupakan bisnis yang padat modal dan teknologi. Menurut Canadian Fuel Association, estimasi biaya yang dikeluarkan untuk membangun kilang minyak berukuran menengah sekitar US$ 7-10 milliar belum termasuk pembelian lahan. Pay back period-nya mencapai 20 hingga 30 tahun bahkan lebih. Besaran biaya ini bergantung pada lokasi pembangunan (biaya konstruksi dan tanah), minyak mentah yang diolah dan rentang produk yang ingin dihasilkan (berhubungan dengan konfigurasi dan kompleksitas proses), ukuran pabrik, dan peraturan pemerintah setempat. Biaya operasi juga cukup mahal mulai dari pekerja hingga biaya bahan baku (minyak mentah) yang cukup volatile. Belum lagi harga produk yang tidak selalu linear dengan harga bahan baku karena juga bergantung pada permintaan pasar. Oleh karena itu, kunci agar kilang bisa kompetitif dari segi bisnis adalah melakukan efisiensi semaksimal mungkin. Lalu bagaimana dengan efisiensi kilang Indonesia? Hanya Pertamina dan Tuhan yang tahu.

Selain itu, dapat disimpulkan bahwa tidak ada kilang yang sama. Setiap kilang unik. Setiap kilang memiliki fleksibilitas tertentu untuk mengolah berbagai jenis minyak bumi dan begitu pula produk yang dihasilkan. Jika kilang ingin lebih fleksibel, bangun kilang yang lebih kompleks. Kilang kompleks akan menghasilkan lebih banyak produk yang bernilai tinggi. Kilang kompleks juga mampu mengolah berbagai jenis minyak mentah sehingga kilang bisa bebas memilih minyak mentah yang lebih murah. Kilang kompleks juga bisa beradaptasi dengan mudah terhadap perubahan permintaan pasar terhadap produk olahan minyak. Kilang bisa mengubah kondisi operasinya untuk menghasilkan produk-produk yang berbeda. Namun jelas, kilang kompleks membutuhkan dana investasi yang besar.

Melihat begitu vitalnya peran kilang minyak dalam memenuhi kebutuhan energi di Indonesia lalu bagaimana dengan kilang Indonesia dan apa yang harus dilakukan? Menurut saya pribadi, Indonesia belum perlu untuk membangun kilang baru. Lakukan terlebih dahulu revamping (ekspansi kilang existing) untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan pengolahan kilang-kilang yang sudah ada. Menurut saya ini lebih tepat melihat dari keterbatasan anggaran dan masih berbelitnya urusan pembebasan lahan, dll. Belum lagi harus membangun infrastruktur baru penunjang seperti pipa transimisi atau pelabuhan untuk memudahkan transportasi bahan baku serta produk yang akan dipasarkan. Waktu yang dibutuhkan untuk pembangunan akan lebih lama. Belum lagi proses birokrasi yang harus diurus. Menurut McKinsey&Company, kebutuhan dana untuk upgrade kilang Indonesia berkisar antara US$ 12 – 17 milliar. Masih menurut McKinsey, investasi sebesar itu bisa meningkatkan dua sampai tiga kali produksi bensin dan diesel dibandingkan dengan opsi membangun kilang baru dengan investasi yang sama. Opsi yang lebih menarik dan reliable melihat kondisi sekarang bukan? Itu saja solusi dari saya dan tentu masih ada banyak solusi lain yang bisa ditawarkan.

 

 

Sumber: http://himatek.itb.ac.id/

Rate this post

Tag:

Bagikan:

Request Presentation

Agenda Terdekat Productivity Quality




Layanan Kalibrasi

Download Jadwal Training 2025

Proxsis TV

[yikes-mailchimp form=”1″]