Ring Fencing: Block Basis Dan Pod Basis Dalam Bagi Hasil Minyak Mentah Dan Gas

Bagikan:

Migas1

Perkembangan sistem kontrak
Perkembangan sistem kontrak migas mulai dari konsesi, kontrak karya, Kontrak Production Sharing dan terakhir Kontrak Kerja Sama. Kontrak Production Sharing antara GOI dengan Kontraktor juga dikenal dengan istilah Production sharing contract (PSC). PSC mulai dikenal sejak berlakunya UU Nomor 8 Tahun 1971 di mana dalam pasal 12 ayat (1) disebutkan Perusahaan dapat mengadakan kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk “Kontrak Production Sharing”. Selanjutnya istilah Kontrak Kerja Sama dikenal melalui UU nomor 22 tahun 2001.

Pencatatan revenue dan biaya
Produk yang dihasilkan dari satu blok bisa hanya minyak mentah saja, bisa gas saja, bisa juga dua-duanya yaitu minyak mentah dan gas. Bagi hasil minyak mentah berbeda dengan bagi hasil gas. Secara umum persentase (split) bagian Negara dari hasil penjualan minyak mentah lebih besar dari hasil penjualan gas. Yang paling umum dikenal 85:15 untuk minyak mentah dan 70:30 untuk gas. Dengan adanya perbedaan split ini, kekeliruan dalam penyajian biaya yang seharusnya menjadi beban minyak mentah dicatat sebagai biaya gas atau sebaliknya akan menghasilkan angka profit yang berbeda dari yang seharusnya. Kekeliruan pencatatan sebesar US$100 biaya gas menjadi biaya mentah mengakibatkan berkurangnya bagian Negara sebesar US$15 dan bagian kontraktor naik sebesar US$15. Kalau kekeliruan pencatatan US$100,000 implikasinya terhadap bagian GOI atau kontraktor adalah sebesar US$15,000 atau 15 persen dari total biaya yang salah pencatatannya.

Berbeda dari perusahaan manufaktur yang menghasilkan berbagai macam produk. Kekeliruan dalam mencatat biaya atas satu produk dicatat sebagai biaya produk yang lain, tidak akan berpengaruh terhadap total profit yang dihasilkan perusahaan. Kekeliruan hanya akan mempengaruhi seberapa besar satu produk bisa menghasilkan profit dibanding produk lain, yang berguna untuk analisis produk mana yang menguntungkan dan mana produk yang masih rugi. Untuk selanjutnya berguna untuk merancang strategi pemasaran yang baru atau malah sampai pada keputusan ekstrem di mana produk rugi tersebut harus disetop produksinya, sehingga tidak mengganggu performa perusahaan secara keseluruhan.

Ring fencing: Block Basis dan POD Basis
Dalam regime PSC dan Kontrak Kerja Sama, kita mengenal istilah ring fencing. Dengan ring fencing, revenue, dan biaya dari satu blok (wilayah kerja pertambangan) tidak boleh dikonsolidasikan dengan revenue dan biaya dari blok yang lain meskipun operator atau pun interest holder blok yang satu dengan blok yang lain berada dalam satu grup atau konglomerasi yang sama. Revenue dan biaya hanya boleh dikonsolidasikan untuk revenue dan biaya yang berasal dari blok yang sama. Ring fencing jenis ini kita kenal dengan istilah ring fencing block basis.

Setelah pelaksanaan suatu Plan of Development (PoD) yang berjalan dengan sukses, maka negara akan mendapatkan bagian dari bagi hasil yang dihasilkan dari penjualan migas. Untuk pengembangan lapangan berikutnya diperlukan persetujuan POD yang lain. Dalam rangka mengamankan penerimaan negara dari PoD yang sudah dijalankan sebelumnya, maka persetujuan yang diberikan disertai dengan catatan. Catatan ini kemudian dikenal dengan istilah PoD basis, di mana biaya suatu POD tidak boleh dikonsolidasikan dengan biaya yang terjadi pada PoD lain dalam suatu blok.

Dalam konteks perhitungan bagi hasil antara GOI dan kontraktor, kemudian dikenal dua cara perhitungan yaitu block basis dan PoD basis. Baik block basis maupun PoD basis mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengoptimalkan penerimaan negara. Kalau tujuannya sama, lalu mengapa ada istilah block basis dan PoD basis.

Dengan block basis, untuk menghitung bagi hasil, revenue per produk dan biaya per produk yang terjadi dalam satu blok dihitung terlebih dahulu. Jika minyak mentah ada profit sedangkan produk lain yaitu gas masih rugi, maka kerugian gas (biaya gas yang belum di-recover) dapat ditransfer ke minyak mentah, begitu juga sebaliknya. Jika hasil konsolidasi minyak mentah dan gas ada bagi hasil, maka negara akan mendapatkan bagian dari bagi hasil sekaligus di saat yang sama juga akan ada kewajiban pajak badan pada kontraktor.
Dengan PoD basis, untuk menghitung bagi hasil, revenue dan biaya dihitung untuk masing-masing PoD. Tidak boleh dikonsolidasikan walaupun kedua PoD tersebut untuk pengembangan lapangan dalam satu blok. Namun untuk mendapatkan besaran kewajiban pajak badan, revenue, dan biaya semua PoD dalam satu blok harus dikonsolidasikan terlebih dahulu. Jika setelah dikonsolidasikan total revenue melebihi total biaya, baru kemudian timbul kewajiban pajak badan.

Karena cara perhitungan bagi hasil dan pajak badan yang berbeda, bisa terjadi suatu anomali. Untung tapi rugi, di mana suatu blok sudah ada untung atau profit (karena ada bagi hasil) dan negara sudah mendapatkan bagian dari bagi hasil tetapi belum ada kewajiban pajak badan karena kontraktor masih mempunyai unrecovered cost (rugi). Anomali ini bisa terjadi bahkan sampai dengan terminasi suatu blok. Bisa saja terjadi satu PoD dalam realisasinya bisa menghasilkan profit sedangkan PoD lain dalam blok yang sama tidak pernah menghasilkan profit sama sekali, sehingga unrecovered cost dari POD ini tidak akan pernah bisa di-recover yang pada akhirnya akan menjadi sole cost-nya kontraktor.

Tujuan utama penerapan PoD basis adalah bagian yang selama ini telah dinikmati oleh negara dari produksi hasil pelaksanaan suatu PoD, tidak tergerus (berkurang) karena pelaksanaan PoD yang lain dalam blok yang sama. Dari sudut pandang lain, negara tidak mendanai kontraktor untuk melaksanakan PoD yang baru. Di samping tujuan lainnya agar kontraktor serius/commit untuk melaksanakan apa yang ditugaskan dalam approval POD.

Dari sudut pandang keuangan, istilah block basis atau POD basis punya implikasi lebih lanjut dengan bertambahnya critical poin dalam melakukan pengawasan. Pada block basis, kekeliruan dalam mencatat direct charges minyak mentah menjadi biaya gas atau sebaliknya akan mempengaruhi besaran bagi hasil maupun pajak badan yang diterima GOI maupun yang diterima atau dibayarkan kontraktor. Ingat, mengapa demikian, karena bagi hasil minyak mentah berbeda persentasenya dengan bagi hasil gas. Demikian juga bila terjadi kekeliruan alokasi common cost ke minyak mentah dan gas akan mempengaruhi besaran bagi hasil maupun pajak badan yang diterima GOI maupun yang diterima atau dibayarkan kontraktor.

Dengan PoD basis, perhatian lebih harus diberikan, agar dapat diyakini bahwa biaya suatu PoD tidak menjadi beban PoD yang lain. Dengan pendekatan relative production, biaya common cost yang berasal dari top management, tentunya alokasi biaya terbesar akan dicatat pada PoD yang sudah ada produksi dan sudah ada profit sehingga biaya yang sudah terjadi/dikeluarkan sesegera mungkin mendapatkan penggantian. Namun logika lain berkata tentunya kontraktor akan lebih banyak mencurahkan tenaga dan pikiran bagaimana untuk PoD yang belum profit agar berapa pun biaya yang sudah dikeluarkan segera mendapatkan penggantian. Paling tidak saldo unrecovered cost pada satu PoD diusahakan seminimal mungkin. Dengan demikian biaya common cost dari top management seharusnya lebih besar dialokasikan ke PoD yang belum profit.

Jika dari analisis keekonomian kontraktor, PoD B yang di-approve kemudian/belakangan akan ekonomis untuk dikembangkan apabila hasil PoD ini digabung dengan hasil PoD A. Satu sisi jika digabung (block basis), akan menggerus bagian GOI dari hasil pelaksanaan PoD A. Namun di sisi lain, jika tidak boleh digabung (PoD basis), maka tambahan produksi yang diharapkan dari pelaksanaan PoD B tidak terjadi. Akibatnya total produksi Indonesia berpotensi kurang sebesar jumlah produksi yang bisa dihasilkan dari pelaksanaan PoD B. Jadi untuk optimalisasi penerimaan negara, PoD basis cocok untuk diterapkan, namun tidak cocok jika target produksi yang menjadi sasaran Utama.

Pengawasan: lebih fokus ke biaya yang besar atau yang kecil
Dalam konteks pengawasan, kontraktor kontrak kerja sama (kontraktor KKS) PoD basis yang mempunyai jumlah produksi tidak besar akan lebih rumit pengawasannya dibanding kontraktor KKS block basis yang mempunyai produksi jauh lebih besar. Demikian juga untuk kontraktor KKS PoD basis karena perlu data bagi hasil per PoD, maka laporannya (FQR) jauh lebih tebal dari FQR kontraktor KKS block basis yang nota bene produksi jauh di atas produksi kontraktor KKS PoD basis. Akhirnya waktu pengawasan yang dibutuhkan akan lebih banyak digunakan pada kontraktor KKS yang produksinya kecil (kontraktor KKS PoD basis) dibanding kontraktor KKS produksinya yang besar (kontraktor KKS block basis).

 

 

Sumber: https://humasskkmigas.wordpress.com/

Rate this post

Tag:

Bagikan:

Request Presentation

Agenda Terdekat Productivity Quality




Layanan Kalibrasi

Download Jadwal Training 2023

Proxsis TV

[yikes-mailchimp form=”1″]

Butuh Bantuan?