Halal Management System

Bagikan:

Kata HALAL pasti  sudah tak asing?? dan pastinya sudah tidak asing dengan logo ini di produk-produk yang beredar di pasaran kan ??

Logo ini bukan sembarang logo. Logo ini merupakan icon sebagai informasi kepada konsumen, bahwa produk tersebut benar-benar Halal. Pencantuman logo Halal pada kemasan produk juga tidak mudah, harus melalui beberapa tahap & persyaratan yang harus dipenuhi.

Saya akan mulai dari system yang mengatur tentang isu Halal itu sendiri, yaitu sistem yang telah diterapkan di bangsa kita Indonesia & juga telah di adop oleh negara- negara lain, sebab Halal telah menjadi persyaratan untuk suatu produk.

Ini satu hal yang menarik, sebab bagi saya pribadi, sebagai seorang muslim, jadi tidak was-was untuk membeli produk, sebab sudah ada lembaga yang mensertifikasi produk tersebut halal untuk digunakan atau tidak.

Sistem Manajemen Halal (SJH) adalah suatu system yang memberikan jaminan Halal suatu produk yang diberikan oleh produsen, dimana system ini disertifikasi oleh

Lembaga Pengkajian Obat-obatan & Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) sebagai pencetus system ini.

Jadi, produsen yang ingin memperoleh status Halal untuk produk yang dihasilkannya, maka sebagai langkah awal, harus menyusun & menerapkan SJH. Lalu bagaimana cara menyusun Manual SJH ?? LPPOM MUI dalam websitenya (www.halalmui.org) telah menuangkannya dalam Panduan Umum SJH.

Dengan mengacu pada itu, maka dapat diketahui apa saja yang harus ada dalam Manual SJH & jika sudah dibuat sesuai dengan Panduan Umum SJH, maka selanjutnya disebut sebagai Dokumen Halal, sebab selain Manual SJH, terkadang disertai pula lampiran-lampiran sebagai pendukung Manual SJH .

Nah, setelah Manual SJH di susun & disetujui oleh pihak manajemen perusahaan, maka Manual SJH tersebut harus disosialisasikan kepada seluruh level dalam perusahaan. Cara untuk sosialisasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya mengadakan Inhouse Training, pemasangan banner, pembuatan pamflet, yang memuat isu Halal, dsb.

Kemudian langkah selanjutnya adalah mereview kesesuaian Manual SJH dengan penerapan / implementasi yang sudah berjalan, jika sudah sesuai, maka langkah selanjutnya adalah permohonan untuk sertifikasi Halal, namun jika belum, maka harus dilakukan cara untuk menyesuaikannya, misalnya : dalam Manual SJH dinyatakan harus ada training / pelatihan secara berkesinambungan tentang isu Halal, maka perusahaan memenuhinya dengan cara membuat program training yang di dalamnya memasukkan isu Halal sebagai agenda, kemudian melaksanakan training itu sendiri, serta menjadikan program & bukti training sebagai dokumen yang dipelihara.

Setelah itu, maka dapat dilakukan permohonan untuk sertifikasi Halal. Tentang Sertifikasi Halal ini, menurut pengetahuan saya, terdapat 2 jalur, tergantung dari ijin edar produk yang diperoleh (sebelum semua hal tentang Halal ini dimulai, perusahaan sudah harus memiliki ijin edar produk).

Ijin edar ada yang DEPKES RI PIRT …. (diikuti beberapa digit angka) yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) lokasi perusahaan berada, yang diperuntukkan home industry & ada pula yang BPOM RI MD …..(di ikuti beberapa digit angka) yang dikeluarkan oleh BPOM, yang diperuntukkan untuk industri skala besar.

Jika Ijin edar yang dikantongi adalah DEPKES RI PIRT, maka permohonan ssertifikasi halal dapat diajukan ke LPPOM MUI daerah setempat, namun jika ijin edar yang di miliki adalah BPOM RI MD, maka permohonan sertifikasi harus diajukan ke LPPOM MUI pusat yang saat ini berada di Jakarta, namun tidak usah khawatir, yang di luar daerah tidak harus bolak balik Jakarta, sebab sudah saat ini sudah ada Sistem Pelayanan Sertifikasi Online atau CEROL.

Dengan menggunakan fasilitas CEROL, pengajuan sertifikasi halal dapat dilakukan secara online. Bagaimana pengaplikasiannya ?? dapat di unduh di website www.halalmui.org

Setelah pengajuan permohonan sertifikasi disetujui oleh LPPOM MUI, maka selanjutnya LPPOM MUI akan mengirimkan pemberitahuan pembayaran biaya untuk Audit Setempat & Jadwal Auditnya kepada perusahaan, jika sudah dilakukan pembayaran oleh perusahaan & sudah ada kesepakatan antara pihak perusahaan & LPPOM MUI tentang jadwal audit, selanjutnya dilakukanlah Audit Setempat oleh LPPOM MUI.

Siapa saja yang datang untuk melakukan audit ?? yang akan melakukan audit adalah petugas audit dari 3 unsur yaitu dari LPPOM MUI sendiri (LPPOM MUI daerah, jika ijin edar adalah DEPKES RI PIRT, petugas audit LPPOM MUI pusat jika ijin edar adalah BPOM RI MD, bagaimana jika perusahaan melakukan expansi ?? maksudnya, pada awalnya ijin edarnya adalah DEPKES RI PIRT, lalu kemudian expansi skala & ijin edarnya menjadi BPOM RI MD ?? maka yang datang adalah orang LPPOM MUI pusat dengan di dampingi oleh LPPOM MUI daerah), dari BPOM & dari Depag (Departemen Agama).

Wow, banyak juga ya ?? kenapa ?? sebab ke 3 unsur tersebut saling terkait, LPPOM MUI jelas, karena mereka pencetus SJH, BPOM, sebab perusahaan yang mengajukan Sertifikasi Halal harus sudah tersertified oleh BPOM, lalu DEPAG, sebab perusahaan atau perwakilan perusahaan yang mengajukan sertifikasi halal harus mengerti & melaksanakan Syariat Islam donk ?? jadi paling tidak, pihak DEPAG akan memverifikasi hal-hal yang terkait dengan itu, misalnya sarana ibadah, aktivitas2 / program2 yang terkait dengan keagamaan yang di gagas oleh perusahaan, seperti misalnya shalat jum’at berjama’ah rutin, dsb.

Kemudian, LPPOM MUI akan memberikan sejumlah rekap temuan dari hasil audit, dimana temuan-temuan tersebut harus dilakukan perbaikan oleh perusahaan & hasil perbaikan dilaporkan pada LPPOM MUI dengan batas waktu yang sudah ditentukan.

Ketika semua perbaikan sudah dilakukan, dilaporkan & disetujui oleh LPPOM MUI, maka hasil audit akan di bahas dalam sidang fatwa LPPOM MUI. Dalam sidang fatwa akan diputuskan apakah perusahaan layak mendapatkan Sertifikat Halal.

Ketika hasil sidang menyatakan layak, maka dilakukan penerbitan Sertifikat Halal & akan diberikan kepada perusahaan, dengan masa berlaku selama 2 tahun, selama Sertifikat Halal tersebut berlaku, perusahaan di persyaratkan untuk melakukan pelaporan terhadap setiap perubahan setiap 6 bulan sekali kepada LPPOM MUI, bagaimana jika tidak ada perubahan ?? tetap saja pelaporan dilakukan.

Ketika Sertifikat Halal sudah didapatkan oleh perusahaan, proses belum berhenti sampai di situ saja, sebab untuk pencantuman logo halal pada kemasan produk, pihak perusahaan juga harus mengajukan permohonan pencantuman logo halal, yang diajukan kepada BPOM. Kenapa BPOM, kok bukan LPPOM MUI ?? sebab yang memiliki kewenangan & persyaratan tentang desain kemasan produk adalah BPOM, jadi BPOM lah yang akan mengkaji & menyetujui tentang logo Halal yang akan dicantumkan pada kemasan produk. Persyaratan pencantuman logo halal pada kemasan produk.

Lantas, bagaimana dengan produsen dari luar Indonesia yang ingin mensertifikasi halal produknya ?? apakah mereka harus juga mendaftar ke LPPOM MUI ?? jawabannya tidak, sebab telah ada juga badan sertifikasi halal di luar negeri yang sudah disetujui oleh MUI.

Lembaga Sertifikasi Halal telah tersebar di beberapa Negara untuk kemudahan bagi produsen di luar Negara Indonesia yang ingin mensertifikasi halal produknya, daftar lembaga sertifikasi halal yang disetujui oleh LPPOM MUI atau kalau ingin mengetahui yang ter-update.

Berikut beberapa Contoh Sertifikat Halal :

ini adalah contoh Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI daerah (jika ijin edar PIRT), perbedaan ada pada bagian atas, menunjukkan daerah yang mengeluarkan SH (di lingkari merah), bedakan dengan yang sebelah kanan, contoh Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI pusat.

contoh SH 1

Lalu, yang di bawah ini adalah contoh Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Halal yang telah diakui oleh MUI yaitu IFANCA (Amerika).

contoh SH 3 (1)

http://airavika.blogspot.com/

Rate this post

Tag:

Bagikan:

Request Presentation

Agenda Terdekat Productivity Quality




Layanan Kalibrasi

Download Jadwal Training 2023

Proxsis TV

[yikes-mailchimp form=”1″]

Butuh Bantuan?