Artikel Safety

Pentingkah Basic Safety Serta Perkembangannya dalam Dunia Kerja?

Bagikan:

basic safety

Sejak tahun 2002, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI saat itu Jacob Nuwa Wea menyatakan keprihatinannya terhadap keselamatan kerja, dengan menyebutkan bahwa kecelakaan saat kerja menyebabkan hilangnya 71 juta jam waktu produktif dan kerugian laba sebesar 340 miliar rupiah. Maka dari itu, pemahaman terhadap basic safety harus ditanamkan oleh perusahaan kepada para pekerjanya.

basic safety

Pada tahun 2008, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI saat itu Erman Suparno juga mengatakan kecelakaan kerja di Indonesia menduduki urutan ke-52 dari 53 negara di dunia, serta jumlah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja sebanyak 65.474 kecelakaan.

Para pekerja yang terdampak kecelakaan tersebut, ada yang meninggal sebanyak 1.451 orang, cacat permanen 5.326 orang dan sembuh tanpa cacat 58.697 orang. Dalam kesempatan tersebut, Menakertrans juga menyampaikan bahwa tingkat pelanggaran Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan pada tahun 2007 sebanyak 21.386 pelanggaran. Fakta tingginya kecelakaan kerja di Indonesia pasti ada penyebabnya.

Hal ini bisa disebabkan oleh kelalaian perusahaan yang cenderung fokus pada keuntungan, dan kegagalan pemerintah dalam meratifikasi konvensi keselamatan internasional atau melakukan pemeriksaan terhadap pekerja, merupakan dua hal yang menjadi penyebab utama besarnya tingkat kecelakaan kerja di Indonesia.

Padahal sesungguhnya pemerintah dan manajemen perusahaan berkewajiban melindungi dan menyediakan tempat kerja yang aman bagi pekerja agar terhindar dari kecelakaan kerja. Dilansir dari HSP Academy, ada tiga alasan utama mengapa keselamatan kerja tersebut sangat penting yaitu:

  1. Keselamatan kerja merupakan hak yang paling dasar bagi pekerja. Setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan dan keamanan selama bekerja;
  2. Karena keselamatan kerja tersebut merupakan Hak Asasi Pekerja maka perlu dilindungi oleh Undang-Undang atau aturan-aturan hukum baik di tingkat nasional maupun internasional;
  3. Tujuan perusahaan adalah mendapatkan keuntungan, untuk mendukung tujuan tersebut faktor keselamatan kerja menjadi penting untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi kerugian akibat kecelakaan kerja.

Implementasi Safety Model PDCA:

Implementasi keselamatan kerja dengan menggunakan model PDCA atau Plan-Do-Check-Action merupakan implementasi secara sistematis dengan prinsip dasar perbaikan terus-menerus (continuous improvement). Model ini sebenarnya banyak digunakan di berbagai aplikasi dan tidak hanya pada program safety saja.

Model PDCA dapat digunakan ketika memulai proyek baru, melakukan perubahan apakah pada sistem atau proses, bahkan ketika melakukan pengembangan atau perbaikan sistem dan bilamana melakukan perubahan apapun. Jika kita pilah satu per satu, pola PDCA akan dijelaskan sebagai berikut:

Perencanaan (Plan); melakukan perencanaan atau membuat program sesuai dengan tujuan dan permasalahan yang ada atau berdasarkan OH&S Policy. Contoh: apa major accident yang mungkin terjadi, apa penyebab atau sumber bahaya yang dapat menyebabkan major accident tersebut dapat terjadi.

Pelaksanaan (Do); melaksanakan program-program atau rencana yang sudah ditetapkan pada tahap perencanaan. Tahap ini merupakan tahapan paling penting karena akan melibatkan semua departemen atau divisi terkait. Tahapan pelaksanaan ini biasanya mengacu pada sistem manajemen atau prosedur yang ada. Contoh: pelakasanaan tolak ukur untuk mengontrol bahaya (pelaksanaan work permit), pelaksanaan manajemen K3.

Pengecekan (Check); memastikan bahwa semua program yang sudah ditetapkan berjalan sesuai dengan rencana dan waktu yang sudah disepakati. Pengecekan dapat dilakukan dalam bentuk audit atau manajemen review. Contoh: Memastikan bahwa work permit digunakan secara benar.

Tindakan (Action); melakukan perbaikan terhadap temuan atau kekurangan pelaksanaan program yang sudah ditetapkan.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Keselamatan dan Kesehatan Kerja mempunyai tujuan untuk memperkecil atau menghilangkan potensi bahaya atau risiko yang dapat mengakibatkan kesakitan dan kecelakaan dan kerugian yang mungkin terjadi. Kerangka konsep berpikir Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah menghindari resiko sakit dan celaka dengan pendekatan ilmiah dan praktis secara sistematis (systematic), dan dalam kerangka pikir kesisteman (system oriented).

Untuk memahami penyebab dan terjadinya sakit dan celaka, terlebih dahulu perlu dipahami potensi bahaya (hazard) yang ada, kemudian perlu mengenali (identify) potensi bahaya tadi, keberadaannya, jenisnya, pola interaksinya dan seterusnya. Setelah itu perlu dilakukan penilaian (assess, evaluate) bagaimana bahaya tadi dapat menyebabkan risiko (risk) sakit dan celaka dan dilanjutkan dengan menentukan berbagai cara (control, manage) untuk mengendalikan atau mengatasinya.

Langkah langkah sistematis tersebut tidak berbeda dengan langkah-langkah sistematis dalam pengendalian risiko (risk management). Oleh karena itu pola pikir dasar dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada hakikatnya adalah bagaimana mengendalikan risiko dan tentunya di dalam upaya mengendalikan risiko tersebut masing-masing bidang keilmuan akan mempunyai pendekatan-pendekatan tersendiri yang sifatnya sangat khusus.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang mempunyai kerangka pikir yang bersifat sistematis dan berorientasi kesisteman tadi, tentunya tidak secara sembarangan penerapan praktisnya di berbagai sektor didalam kehidupan atau di suatu organisasi. Karena itu dalam rangka menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja ini diperlukan juga pengorganisasian secara baik dan benar.

Dalam hubungan inilah diperlukan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang terintegrasi dan perlu dimiliki oleh setiap organisasi. Melalui sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja inilah pola pikir dan berbagai pendekatan yang ada diintegrasikan ke dalam seluruh kegiatan operasional organisasi agar organisasi dapat berproduksi dengan cara yang sehat dan aman, efisien serta menghasilkan produk yang sehat dan aman pula serta tidak menimbulkan dampak lingkungan yang tidak diinginkan.

Perlunya organisasi memiliki sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang terintegrasi ini, dewasa ini sudah merupakan suatu keharusan dan telah menjadi peraturan. Organisasi Buruh Sedunia (ILO) menerbitkan panduan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Di Indonesia panduan yang serupa dikenal dengan istilah SMK3, sedang di Amerika OSHAS 1800-1, 1800-2 dan di Inggris  BS 8800 serta di Australia disebut AS/NZ 480-1. Secara lebih rinci lagi asosiasi di setiap sektor industri di dunia juga menerbitkan panduan yang serupa seperti misalnya khusus di bidang transportasi udara, industri minyak dan gas, serta instalasi nuklir, dan lain sebagainya.

Bahkan dewasa ini organisasi tidak hanya dituntut untuk memiliki sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi, lebih dari itu organisasi diharapkan memiliki budaya sehat dan selamat (safety and health culture) di mana setiap anggotanya menampilkan perilaku aman dan sehat.

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)

Dasar hukum penerapan SMK3 di tempat kerja yang mempekerjakan sebanyak 100 orang atau lebih dan mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi  yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti ledakan, kebakaran, pencemaran, dan penyakit akibat kerja adalah Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Dalam era industri yang penuh dengan persaingan, penerapan manajemen K3 menjadi sangat penting untuk dijalankan secara sistematis dan terarah. Pengalaman di negara-negara lain menunjukan bahwa tren suatu pertumbuhan dari sistem K3 adalah melalui fase-fase tertentu, yaitu fase kesejahteraan, fase produktivitas kerja, dan fase toksikologi industri. Saat ini penerapan K3 di Indonesia pada umumnya masih berada pada fase paling bawah yaitu fase kesejahteraan. Sebagian kecil perusahaan-perusahaan besar bertaraf internasional sudah mengarah pada fase peningkatan produktivitas kerja. Misalnya program K3 yang disesuaikan dengan sistem ergonomic (penyesuaian beban kerja/alat kerja dengan kemampuan dan fisik pekerja) yang merupakan salah satu usaha untuk mencetak para pekerja yang produktif.

Dalam konteks penyebab terjadinya kecelakaan akibat kerja dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:

  1. Faktor fisik, yang meliputi penerangan, suhu udara, kelembaban, laju rambat udara, kebisingan, vibrasi mekanis, radiasi, tekanan udara, dan lain-lain;
  2. Faktor Kimia, yaitu berupa gas, cairan, uap, debu, asap, dan lain-lain;
  3. Faktor Biologi, baik berupa mikroorganisme, hewan, dan tumbuh-tumbuhan;
  4. Faktor Fisiologis, seperti konstruksi mesin, sikap, dan cara kerja;
  5. Faktor mental-fisiologis, yaitu susunan kerja, hubungan di antara pekerja atau dengan pengusaha, pemeliharaan kerja, dan sebagainya.

Semua faktor-faktor di atas dapat mengganggu aktivitas kerja seseorang. Misalnya penerangan yang kurang akan menyebabkan kelelahan pada mata. Suara gaduh atau bising dapat berpengaruh pada daya ingat pekerja. Semua itu dapat memicu terjadinya kecelakaan kerja. Sehingga, keselamatan kerja harus menjadi perhatian bersama baik dari pekerja, perusahaan, serta pemerintah yang menciptakan peraturan. Bagaimana menurut kamu?

Sumber: kerjaindonesia

Rate this post

Bagikan:

Request Presentation

Agenda Terdekat Productivity Quality




Layanan Kalibrasi

Download Jadwal Training 2023

Proxsis TV

[yikes-mailchimp form=”1″]

Butuh Bantuan?